Teruntuk pria yang
menjadi sebab mengapa gerimis kecil ini turun,
Selamat berjumpa lagi, Tuan. Sudah terlalu lama aku tak
pernah sedekat ini lagi denganmu. Meski ragamu tak pernah jauh dari pandangan ,
entah mengapa aku selalu merasa kehilanganmu. Hingga ku rasa kamu bukan lagi
pria yang kukenal sejak tiga tahun lalu. Perubahanmu terlalu cepat, aku tak
bisa menahannya. Bahkan perkataanku hanya angin lalu dihadapanmu yang dengan
mudahnya kau maki dengan Bahasa Jawa kasar. Bukankah kamu yang membuatku nyaman
sejak tujuh bulan lalu adalah pria lemah lembut yang kuyakini tak mungkin
menyakiti seekor semut apa lagi hati seorang wanita? Demi apapun, aku
merindukanmu sangat merindukanmu, merindukan sosokmu tujuh bulan lalu.
Cepat atau lambat setiap orang akan berubah, entah ke arah kebaikan
atau keburukan. Begitu pula denganmu, denganku juga. Seharusnya aku bisa
memahami itu, tapi aku tak rela jika kamu harus berubah secepat ini, sebesar
ini. Dimana kamu yang dulu menjadikanku satu-satunya? Dimana kamu yang dulu tak
pernah melontarkan kata-kata kasar untukku? Apa kamu menyadari semua
perubahanmu, Tuan?
Aku selalu menjadi apa yang kau mau. Meski kau selalu
berpendapat bahwa aku tak pernah menuruti keinginanmu. Bahkan kini aku tak bisa
mengenali diriku sendiri lagi. Ya, aku kehilangan diriku sendiri. Aku rela
kehilangan diriku sendiri demi menjadi apa yang kamu mau. Apa ini yang kau
sebut egois? Ini adalah bentuk
perjuangan terhadap sesuatu yang egois.
Udara dingin semakin menusukku, kembali menyadarkanku dari
mimpi indah kita yang kurangkai sendiri.
Aku masih ingin merangkai hatiku yang kau cabik hingga tak terhitung
potongannya. Tuan, aku merangkainya sendiri tanpa bantuan pria manapun, aku
menjaga perasaanmu tuan, aku tak sampai hati jika harus melukaimu dengan atau
tanpa sepengetahuanmu.
Sejauh aku berlari, sejauh aku melarikan diri, aku tetap
tidak bisa meninggalkanmu. Seberapa keras tekadku untuk pergi, seberapa sering
mereka memaksaku untuk melepasmu, aku tetap tidak bisa meninggalkanmu. AKU
TIDAK BISA MENINGGALKANMU TUAN! Ini menyiksaku, sangat menyiksaku. Hingga aku
terluka parah, hingga aku harus menemukan obatnya secepat mungkin. Aku sudah
mencarinya, mencari siapapun yang bisa menyembuhkan lukaku. Tapi tuan, kau
harus tahu. Kamulah obatnya, hanya kamu yang bisa menyembuhkan lukaku, lalu kau
lukai lagi, lagi dan lagi. Apa dengan melukaiku, kamu bahagia? Jika iya, lakukanlah tuan, lakukan sesukamu.
Asalkan kamu bahagia.
Seiring waktu yang tidak mungkin kembali, malam ini Tuhan
telah berbaik hati membuat hatiku utuh lagi dengan membawamu kembali. Pria baik
tujuh bulan lalu. Dapatkah aku menghentikan waktu? Agar kamu tetap seperti ini,
tak akan berubah lagi. Andai saja aku bisa melakukannya. Tuan, malam ini aku
tetap menangis seperti malam-malam biasanya, namun setidaknya airmata yang terjatuh
tak lagi airmata kesedihan. Ini airmata bahagia.
Oh iya Tuan, aku ingin bercerita sedikit denganmu. Tuan,
meski setiap malam airmata ini terjatuh untukmu, dan kau tak pernah bosan
melukaiku hingga aku berdarah-darah, aku rela. Aku rela jadi pesakit untukmu. Aku
bisa bertahan denganmu sesakit apapun. Tapi bukannya aku tak pernah ingin
pergi, aku sering mengatakan aku ingin pergi, tapi aku tak pernah benar-benar
pergi. Aku tak bisa melakukannya. Tuan, apakah ini yang disebut cinta? Mungkin kau
sedang tertawa mendengar cerita konyol ini, tapi ini sungguh tuan, sungguh.
dari wanita yang rela berdarah untukmu.